Ke Manakah Wirausaha yang Dulu Bergairah itu?
Seperti apakah wajah wirausaha baru Indonesia pasca krisis ekonomi? Masih eksiskah mereka? Atau jangan-jangan sudah hilang ditelan perubahan?
Krisis ekonomi (1997-1998) telah menghancurkan demikian banyak harapan. Harapan terhadap masa depan dari pekerjaan dengan penghasilan tetap dan karier yang terus melaju tiba-tiba pergi dalam sekejap. Ribuan orang kehilangan pekerjaan, dan ratusan pemilik perusahaan menjadi pasien BPPN. Gedung-gedung perkantoran di daerah segitiga emas yang tadinya ramai ditempati perusahaan-perusahaan menengah, menjadi kosong melompong. Sepi. Angka penjualan otomotif dan properti anjlok tajam. Ke mana para profesional itu pergi?
Dunia kewirausahaan atau “dunia dagang”, tiba-tiba menjadi sangat menarik. Didorong oleh ratusan juta atau bahkan puluhan miliar rupiah uang pesangon, dunia kaki lima, ruko, agribisnis, sampai restoran dan transportasi serta broker menjadi penuh sesak. Semua orang yang kena PHK ingin mengadu untung di sana. Bukan cuma mereka, ternyata para artis yang kesepian order juga mengais rejeki di lahan yang sama.
Tentu saja tak semua pelaku usaha itu selamat. Saya berani bertaruh hanya sekitar 10-20% orang yang mengadu untung di dunia ini yang masih bertahan. Ada banyak sebab mengapa mereka tidak mampu bertahan.
Pertama, dunia usaha berbeda benar dengan dunia kerja. Di dunia kerja, kaum profesional dan karyawan mengandalkan penghasilan tetap, tunjangan mobil, ruang kerja yang menarik, dan sekretaris yang cekatan. Di dunia usaha penghasilan tetap hanyalah sebuah ilusi bagi seorang pemula. Demikian juga dengan berbagai fasilitas yang disebutkan di atas. Jika tidak bijak, semua itu dapat memperkecil asset dan membatasi ruang gerak. Tak heran apabila kemudian ada demikian banyak orang yang memilih berhenti berusaha menjadi politisi. Menjadi politisi, anggota parlemen, atau bupati menjadi lebih menarik karena mereka semua menawarkan penghasilan tetap dengan segala fasilitas yang terbilang mewah.
Kedua, mereka lebih sebagai seorang opportunist ketimbang seorang wirausaha. Seorang opportunist memasuki medan usaha semata-mata karena kegairahan melihat untung. Ketika medan yang dimasuki ternyata juga dimasuki pengusaha-pengusaha lain dan untungnya berkurang, maka seorang opportunist mengambil langkah cabut. Akibatnya tidak ada proses pembelajaran, tidak ada inovasi, tidak ada pertumbuhan. Biasanya mereka berpindah-pindah, dari seorang rekanan pemerintah menjadi kontraktor bangunan, lalu peternak lele, production house, pengelola sekolah, lalu pindah lagi ke mini market dan petani cabai kriting. Semua menjanjikan untung dikejar, dan yang tidak segera dilepas.
Ketiga, kurangnya pengetahuan berusaha, baik pengetahuan berusaha maupun kemampuan mengembangkan produk. Keempat, salah kelola, baik salah memilih mitra, membeli mesin, mengurus produk, dan seterusnya. Semua yang disebutkan di atas dapat membuat seorang wirausaha kehabisan napas dan mencari cara lain untuk menopang hidupnya.
Seorang wirausaha pada dasarnya adalah seorang yang tahan banting, dan mampu menembus setiap batasan yang menghadangnya. Seperti kata Ralph Waldo Emerson, “Setiap dinding selalu memiliki pintu.” Karena pintu-pintu itulah maka kita bisa keluar dari segala kesulitan. Maka tentu niat saja tidaklah cukup.
Rhenald Kasali, Becoming Young Entrepreneur: Dream Big, Start Small, Act Now!
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!