Kecanduan Terhadap Waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu detik berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito paling berharga yang dianugerahkan Allah SWT secara gratis dan merata kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau miskin. Penjahat atau orang alim akan memperoleh jatah deposito waktu yang sama, yaitu 24 jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari. Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan depositonya tersebut.
Apa yang akan Anda lakukan seandainya Anda akan meninggal dalam waktu 30 hari lagi? Apa prioritas yang akan Anda lakukan untuk memanfaatkan waktu 30 hari tersebut? Ambilah kertas kemudian cobalah untuk mencatat prioritas-prioritas tersebut, kemudian ujilah dengan mata hati yang paling tajam, benarkah urutannya? Renungkan dengan sangat mendalam semua yang telah Anda tulis dan Anda akan memperoleh sesuatu yang di luar dugaan Anda, yaitu kebermaknaan dalam hidup! Ya, akhirnya kita akan berbicara soal makna hidup karena waktu merupakan sebuah gelas yang kosong, bergantung pada kita mengisinya. Waktu bagaikan sebuah kanvas, terserah Anda mau melukis gambar seperti apa!
Waktu adalah sehelai kertas kehidupan yang harus ditulis dengan deretan kalimat kerja dan prestasi. Dia akan merasakan kehampaan yang luar biasa apabila waktu yang dilaluinya tidak diisi dengan kreasi, kalimat kerjanya terputus, atau bahkan dia akan merasakan kekosongan jiwa apabila ada waktu yang kosong serta tidak mempunyai nilai apa pun. Bila sampai saat ini Anda berumur 35 tahun, seharusnya ada 35 jilid kehidupan yang berjudul nama Anda. Setiap jilid itu terdiri atas 12 bab, 365 halaman, dan setiap halaman terdiri atas 24 baris atau 8.760 kata setiap jilidnya. Apakah baris-baris itu penuh dengan cerita yang “exciting (pans)”, kisah tentang persaingan, kisah perjalanan menuju perpustakaan, diskusi, membaca, dan lain-lain, ataukah hanya deretan kisah tentang tidur, sakit, atau bermalas-malasan. Atau, setiap lembaruya justru kosong tidak berisi tulisan apa pun! Lantas, bagaimana Anda akan berkata pada para pembaca kehidupan Anda bila setiap lembaruya penuh dengan kertas kosong?
Dia sadar bahwa waktu adalah netral dan terus merayap dari detik ke detik dan dia pun sadar bahwa sedetik yang lalu tak pernah akan kembali kepadanya.
Baginya, waktu adalah aset Ilahiah yang sangat berharga, adalah ladang subur yang membutuhkan ilmu dan amal untuk diolah serta dipetik hasilnya pada waktu yang lain. Waktu adalah kekuatan. Mereka yang mengabaikan waktu berarti menjadi budak kelemahan. Bila John F Kenedy berkata, “The full use of your powers along lines of excellence ‘memanfaatkan seluruh kekuatan, Anda sedang menuju puncak kehidupan’,” seorang muslim berkata, “Waktu adalah kekuatan. Bila kita memanfaatkan seluruh waktu, kita sedang berada di atas jalan keberuntungan.” Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Wal-’ashri, sesungguhnya manusia pasti dalam kerugian, kecuali mereka, yang beriman dan beramal saleh, saling berwasiat dalam kebaikan dan dalam kesabaran.” (al-’Ashr: 1-3)
Para ulama sepakat menerjemahkan wal’ashri dengan wawu sebagai sumpah atau demi. Artinya, menunjukkan kesungguhan yang luar biasa dari ayat tersebut. Atau, dapat kita katakan bahwa huruf wawu tersebut menunjukkan penekanan agar kita semua benar-benar memperhatikan dengan sangat sungguh-sungguh sehingga kata wal-’ashri seakan-akan menggedor hati pembaca dan pendengarnya, maka perhatikanlah!
Perhatikanlah dengan seluruh mata batinmu! Apa yang harus diperhatikan? Manfaatkanlah waktu dengan iman dan amal-amal prestatif dan bangunlah nilai kemanusiaan di atas kebenaran dan kesabaran; bila tidak, seluruh manusia akan berada dalam kerugian.
Quraish Shihab menulis, “Menurut sementara pakar Bahasa, kata kerja ‘ashara pada mulanya berarti ‘menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam darinya tampak ke permukaan/ke luar’. Dengan kata lain, kata tersebut dapat Pula diartikan dengan ‘memeras’.”
Dengan pemahaman ini, setiap pribadi muslim diingatkan agar pada setiap sore hari seluruh pekerjaan telah selesai. Segala tugas tidak ada lagi yang tertunda (no pending or delay job) karena ‘ashr berarti memeras sesuatu sehingga tidak ada lagi air yang menetes. Semua pekerjaan telah tuntas, untuk kemudian diikuti dengan tugas lainnya, sebagaimana firman-Nya, “Maka, apabila engkau telah selesai dari suatu pekerjaan, maka kerjakanlah urusan yang lain dengan sungguh-sungguh.” (al-Insyirah: 7)
Salah satu ciri orang modern adalah mereka yang menyikapi waktu dengan sangat bersungguh-sunguh. Mesin waktu yang melingkari lengan Anda (jam tangan) bukan sekadar gengsi, melainkan benar-benar menunjukkan fungsi. Bahkan, tidak berlebihan bila saya katakan bahwa orang modern adalah orang yang telah dibentuk oleh sang waktu. Seluruh agendanya, sejak dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai kembali ke tempat tidur di malam hari, telah diatur oleh waktu. Ada semacam alarm system dalam diri kita, kapan harus bangun, kapan harus berangkat kerja, kapan harus begin, dan kapan harus begitu; semunya menunjukkan betapa diri kita telah diatur oleh sang waktu tersebut. Kehidupan adalah kepedulian kepada sang waktu, sedangkan kematian adalah ketidakpedulian padanya.
Seorang muslim bagaikan kecanduan waktu. Dia tidak mau ada waktu yang hilang dan terbuang tanpa makna. Jiwanya merintih bila ada satu detik berlalu tanpa makna. Baginya, waktu adalah rahmat yang tidak terhitung. Pengertian terhadap makna waktu merupakan rasa tanggung jawab yang sangat besar atas kemuliaan hidupnya. Sebagai konsekuensinya, dia menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas. Ada semacam bisikan dalam jiwanya agar jangan melewatkan barang sedetik pun kehidupan ini tanpa memberi arti.
Benyamin Franklin berkata, “Dost thou love life? Then do not squander time, for that is the stuff life is made of ‘apakah Anda mencintai kehidupan? Maka, janganlah memboroskan waktu sebab waktu merupakan bahan pembentuk kehidupan’.”
Sadar untuk tidak memboroskan waktu, setiap pribadi muslim yang memiliki etos kerja tinggi akan segera menyusun tujuan, membuat perencanaan kerja, dan kemudian melakukan evaluasi atas basil kerjanya. Dia memiliki moto yang khan: bekerjalah dengan rencana dan kemudian kerjakanlah rencanamu (plan your work and work your plan). Bila hanya pandai membuat rencana dan konsep semata-mata, tanpa mampu mewujudkannya dalam bentuk “action” dikhawatirkan tujuan yang ditetapkan hanya akan menjadi satu khayalan dan terjebak lagi dalam budaya verbalisme yang tinggi.
Al-Qur’an meminta setiap muslim untuk memperhatikan dirinya dalam rangka persiapan menghadapi hari esok (wal-tandzur nafsun maa qaddamad lighadin).
Secara sangat sederhana, salah satu bukti mengaktualkan ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan waktu tersebut tampaklah bahwa setiap muslim adalah manusia yang senang menyusun jadwal harian, mampu merencanakan pekerjaan dan programnya. Itulah sebabnya, setiap muslim seharusnya memiliki buku agenda kerja dan agenda atau catatan harian seorang muslim itu sarat dengan berbagai catatan yang menunjukkan kesadaran terhadap waktu.
Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat nyata dan praktis, bukan khayalan mengawang-awang. Bukan pula bahan konsumsi diskusi konsep lapuk di atas meja seminar. Akan tetapi, dia merupakan ayat-ayat alamiah, suatu agama yang menuntut pengalaman praktis dalam bentuk yang senyata-nyatanya melalui gerakan bil-haal.
Seorang yang memiliki etos kerja sadar betul bahwa kehadiran dirinya di muka bumi bukanlah sekadar untuk “being”, melainkan ada semangat yang menggelora di seluruh pori-pori tubuhnya untuk mengisi waktu menuju kepada tingkatan becoming dan akhirnya memperoleh nilai di sisi Allah, menjadi bagian dari khairu ummah.
Pokoknya, tidak seperseribu detik pun dia lewatkan waktu tanpa makna karena dia sadar bahwa waktu adalah aset yang paling berharga, bahkan dia hayati makna dari sebuah ucapan, “Al-waktu kas-saif in lam taqtha’hu qatha’a ‘waktu itu bagaikan pedang, apabila tidak waspada, pedang itu akan memotong leher kita sendiri’.”
Akan tetapi, tengoklah dengan mata hati yang lapang dan bijak. Berapa banyak kita telah mengayunkan pedang sang waktu yang memenggal kehidupan kita sehingga kita terpuruk dalam kelemahan dan kerugian. Kita menghafalkan ayat wal-’ashri bahkan hampir menjadi bacaan surah andalan dalam shalat, tetapi kembali kita tidak mampu menangkap esensinya dan tak pandai mempraktikkannya. Pandai dalam pernyataan, tetapi bodoh mewujudkan dalam kenyataan!
Berapa banyak di antara kita yang telah membuang aset Ilahiah. Pada saat semua orang berkeringat dan mendebukan tubuhnya untuk memenuhi seruan menuju kemenangan (hayyaa ‘alal-falaah) dan memanfaatkan sang waktu dengan kerja keras, justru di antara kita ada yang masih terpenjara dalam kemalasan. Merenda khayal merajut mimpi di balik selimut!
Seorang pribadi muslim yang mendapatkan amanah untuk menghidupkan iman dalam bentuk amal saleh, dia tidak mungkin membuang waktu tanpa manfaat. Akan tetapi, lihatlah orang-orang yang telah membuang aset Ilahi itu. Mereka tidak pernah mencapai puncak dengan cemerlang. Para pekerja yang bermalas-malasan membuang waktu pada hakikatnya berjiwa kerdil, pengecut, tidak memiliki tanggung ajawab, dan kehilangan orientasi untuk menatap masa depannya.
Karena itu, mereka yang sengaja datang ke kantor dengan terlambat telah membuat kezaliman yang luar biasa. Pertama, dia telah mendekati tanda-tanda kemunafikan. Bukankah salah satu tanda orang munafik adalah mereka yang telah berjanji, tetapi ingkar. Bukankah karyawan itu telah berjanji untuk datang ke kantor tepat jam delapan sebagaimana tertuang dalam perjanjian dengan perusahaan yang telah Anda tanda tangani, tetapi dia mengingkarinya. Adakah rasa berdosa atau takut sifat munafik itu ada di hati ketika Anda datang ke kantor dengan berlambat-lambat? Kedua, Anda telah menzalimi teman-teman Anda yang mempunyai status dan gaji yang sama. Mengapa? Karena, Anda telah memberikan beban pekerjaan kepada mereka yang seharusnya Anda selesaikan. Ketiga, Anda telah melakukan perbuatan kriminal, korupsi waktu Ketahuilah, bila Anda terpuruk di balik bantal merenda khayal, merajut numpi, melantunkan prosa keluh kesah, berapa banyak orang yang sebaya seperti Anda bergerak penuh semangat meneteskan keringat untuk tidak mbiarkan setiap detik kehidupannya berlalu tanpa makna. Mungkin Anda gagal dalam kehidupan. Ketahuilah, sesungguhnya lebih banyak lagi g yang gagal seperti Anda, hanya raja mereka mampu bangkit dan kelannya dan tegak penuh percaya diri untuk menatap ke depan. Mereka yang sukses adalah mereka yang tidak mau sedetik pun berlalu tanpa makna. Lembar kehidupan tidak boleh berlalu dengan kosong.
Karena itulah, setiap pribadi muslim yang sadar akan makna hidup meyakini apa yang diraih pada waktu yang akan datang ditentukan oleh caranya mengada pada hati ini, what we are going tomorrow we are becoming today. Siapa yang menanam, dialah yang memetik; siapa yang menabur benih, dialah yang menuai. Waktu adalah ladang kehidupan; kewajiban kita adalah menebar benih di atas ladang sang waktu untuk kemudian menikmatinya di masa depan. Bila Anda menanam kemalasan, bersiaplah untuk memetik buah kemiskinan. Bila Anda menanam kerja keras, sepantasnyalah Anda sendiri menuai keberhasilan. Inilah hukum wal-’ashri, sebuah aksioma Ilahiah yang bersifat universal.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!