Keutamaan Hari Raya
Imam Baihaqi
Ibnu Malik berkata, “Ketika Rasulullah s.a.w. datang ke Madinah, para penduduk Madinah memiliki dua Hari Raya untuk bersuka cita. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka,
“Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menggantikan untuk kamu dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Daud: 1/675, Nasa’i: 3/179, Ahmad: 3/103, 178, 235, 250).1
Hasan menambahkan: “Idul Fitri adalah hari shalat dan zakat.” Ia juga berkata, “Bersedekah sebanyak satu sha’. Adapun Idul Adha adalah hari shalat dan hari kurban, yakni hewan-hewan sembelihan kalian.”
Terkait dengan pembahasan Idul Adha, kami telah menjelaskannya dalam bab keutamaan bulan Dzulhijjah, Adapun tentang Hari Raya Idul Fitri, maka dasarnya adalah firman Allah yang berbunyi:
“Berbahagialah orang yang menyucikan dirinya yakni orang yang mengingat nama Tuhannya dan mendirikan shalat.” (QS. Al-A’la: 14-15)
Sebagian kitab tafsir menjelaskan: “Qad aflaha man tazakka”, yakni dengan menunaikan zakat, “Wadzakarasma rabbihi”, yakni dengan bertakbir, “Fashalla”, yakni dengan shalat Id.
Katsir ibn Abdilah ibn Amru ibn Auf menceritakan dari ayahnya, dari kakaknya bahwa Rasulullah s.a.w. ditanya tentang firman Allah s.w.t. yang berbunyi:
Beliau menjawab, “Yakni zakat fitrah.”2
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa menurut Ibnu Urnar ayat ini turun berkaitan dengan masalah zakat di bulan Ramadhan.
Abu Aliyah berkata tentang ayat di atas, “Maksudnya adalah rnemberi sedekah dan kemudian mendirikan shalat.”
Ja’far ibn Burqan menceritakan: “Omar ibn Abdul Aziz mengirim sepucuk surat kepada kami yang berbunyi: ‘Bersedekahlah sebelurn shalat dan dan ucapkanlah apa yang telah diucapkan oleh ayah kalian Adam a.s.:
‘Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan Kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.’ (QS. Al’Arif: 23) dan ucapkanlah apa yang telah diucapkan oleh Nuh a.s.:
‘…dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang‑orang yang merugi.’ (QS. Hud: 47) dan ucapkanlah apa yang telah diucapkan oleh Ibrahim a.s.:
‘Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada Hari Kiamat.’ (QS. Asy-Syu’ara: 82) dan uoipkanlah apa yang telah diucapkan oleh Musa as:
‘Musa mendoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karma itu ampunilah aku.’ Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Qashash: 16) dan ucapkanlah apa yang telah diucapkan oleh Dzun Nun (Yunus a.s):
‘…Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Anbiya’: 78). Aku juga melihat Nabi s.a.w. menetapkan bahwa barangsiapa tidak memiliki sesuatu tuttuk dizakatkan, hendaklah ia berpuasa, yakni—Wallahu a’lam—setelah Id’.”3
Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w telah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kata-kata kotor (selama mereka berpuasa), dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat Id maka itulah zakat yang diterirna. Adapun yang menunaikannya setelah shalat Id, maka itu tidak lebih dari sekadar sedekah biasa.” (HR. Abu Daud: 2/262 dan Ibun Majah: 1)585).4
Abdullah ibn Umar berkata, “Rasulullah s.a.w. telah mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan atas setiap Muslim. Orang yang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.”5 (HR. Bukhari: 2/138, Muslim: 2/678, Tirmidzi: 3/61, dan Abu Daud: 2/263) Menurut Ibnu Fudaik bahwa sagu sama kedudukannya dengan kurma atau gandum.
Hadis di atas diriwayatkan juga dari jalan lain dan Abdullah ibn Tsalabah, dari ayahnya, dari Nabi s.a.w. tentang zakat fitrah dengan tambahan: “Baik yang kaya maupun yang fakir”. Adapun orang kaya, apabila ia bersedekah, maka dia akan disucikan oleh Allah, adapun orang fakir hendaklah ia diberi zakat melebihi apa yang ia zakatkan.
Ibnu Umar r.a. berkata, “Doa tidak akan ditolak pada lima malam, yaitu malam Jumat, awal malam Rajah, malam nishfu Sya’ban dan malam dua hari raya.”6
Abu Darda’ berkata, “Barangsiapa mendirikan shalat pada malam dua Hari Raya dengan penuh harap akan ridha Allah, niscaya hatinya tidak akan mati ketika semua hati mati.” (HR. lbnu Majah: 1/567).7
Imam Syafi’i berkata, “Telah sampai kepada kami riwayat yang mengatakan bahwa sesungguhnya do’a itu dikabulkan dalam lima malam.” Lalu ia menyitir hadis yang telah kami riwayatkan dari Tbnu Umar di atas.
Imam Syafi’i menuturkan dengan sanad yang sama dari Ibrahim ibn Muhammad. Ia mengatakan, “Aku melihat orang-orang pilihan di Madinah datang ke masjid Nabi saw. pada malam dua hari raya. Mereka berdoa dari berzikir sampai berlalunya sebagian malam.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Aku juga suka melakukan seperti yang mereka lakukan pada malam-malam tersebut, meskipun hal itu tidak wajib,”
Beliau rahimahuillah juga berkata, “Aku ingin agar imam bertakbir setelah Magrib, Isya, Subuh, di antara waktu-waktu tersebut dan pagi hari ketika berangkat untuk shalat Id sampai tiba di tempat shalat di hari Idul Fithri.” Beliau berhujah dengan firman Allah yang berbunyi:
“…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadarnu…”, (QS. A1-Baqarah: 185) yaitu ketika Allah telah menyempurnakan petunjuknya atas kamu sekalian.
Imam Syafi’i rahimahullah meriwayatkan dengan sanad-nya sendiri Umar pergi menuju tempat shalat di Han Raya Idul Fitri ketika matahari telah terbit. Ia bertakbir di sepanjang jalan sampai tiba di tempat shalat, kemudian ia melanjutkan takbir. Ia berhenti bertakbir apabila imam telah datang.”
Abdullah berkata, “Rasulullah s.a.w. pergi untuk shalat Id bersama Fadhl ibn Abbas, Abdullah, Abbas, Ali, Ja’far, Hasan, Husain, Usamah ibn Zaid, Zaid ibn Haritsah, dari Aiman ibn Ummi Aiman. Mereka bertahlil dan bertakbir dengan keras, dan pergi melalui jalan yang terjauh untuk sampai di tempat shalat. Selesai shalat mereka pulang melewati jalan yang terdekat untuk sampai ke rumah.”8
Atlas berkata, “Nabi s.a.w tidak keluar pada Mari Raya Idul Fitri kecuali setelah beliau menyantap tiga, lima, atau tujuh biji kurma, ataupun kurang atau lebih dari itu dengan hitungan ganjil.” (HR. Bukhari: 2/3 dan Tirmidzi: 2/427).9
Arias ibn Malik berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda,
‘Pada malam lailatul qadar, malaikat Jibril a.s. turun bersama sejumlah malaikat; mereka bershalawat atas setiap orang yang berzikir dengan berediri maupun yang duduk. Apabila tiba Hari Raya mereka—yakni Idul Fitri, Allah membanggakan orang-orang itu di hadapan Para malaikat. Dia s.w.t. berfirman, ‘Wahai para malaikatiku, apakah balasan bagi orang yang bekerja ketika pekerjaannya telah selesai?’ Mereka menjawab, ‘Tuhan kami, balasannya adalah diberikan pahalanya dengan penuh.’ Allah berkata, ‘Malaikatku, hamba-hamba-Ku baik laki‑laki maupun perempuan telah menjalankan kewajiban mereka pada-Ku, kemudian mereka keluar memanjatkan do’a kepadaku. Demi kekuasaan, kebesaran, kemuliaan dan ketinggian kedudukan-Ku, niscaya akan Aku kabulkau permahonan mereka.’ Allah s.w.t. kemudian berfirman, ‘Aku telah mengampuni kamu sekalian dan Aku gantikan keburukanmu dengan kebaikan.’ Mereka pulang (dari ternpat shalat) sementara dosa mereka telah diampuni’.”10
Hanya Ashram In Hausyab al-Hamdzani yang meriwayatkan dengan sanad di atas. Kami telah menyebutkannya dalam sebuah riwayat yang panjang tentang lailatul Qadar.
Diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar tentang keutarnaan puasa Ramadhan dan keluamya kaum Muslimin di hari raya, sebagaimana berikut:
Ka’b al-Ahbar berkata, “Allah telah berfirman kepada Musa a.s., ‘Sesungguhnya Aka telah mewajibkan puasa atas hamba-hamba-Ku di bulan Ramadhan. Wahai al Musa, barang siapa pada Hari Kiamat nanti mendapatkan catatan amalnya tertulis sepuluh kali Ramadhan, maka dia termasuk orang-orang saleh. Barang siapa menjumpai Hari Kiamat dan pada catatan amalnya tertulis dua puluh Ramadhan, maka die termasuk orang‑orang yang merendahkan diri (kepada Allah). Barang siapa menjumpai Hari Kiamat dan pada catatan amalnya tercatat tiga puluh kali Ramadhan, rnaka dia mendapatkan balasan yang sama dengan sebaik-baik orang yang syahid. Wahai Musa, setiap memasuki Ramadhan, Aku menyuruh malaikat yang membawa Arsy-Ku berhenti dari ibadah, agar ketika orang-orang yang berpuasa berdoa, mereka turut menjawab, ‘Amin.’ Aku telah mewajibkan atas diri-Ku untuk tidak menolak do’a orang yang berpuasa Ramadhan. Wahai Musa, aku mengilhamkan kepada langit, bumi, gunung-gunung, burung, binatang melata, dan serangga, untuk memintakan ampun bagi orang yang berpuasa. Wahai Musa, carilah tiga orang yang sedang berpuasa Ramadhan, shalatlah bersarna mereka, makan dari minumlah bersama mereka. Sungguh Aku tidak akan menimpakan azab dan siksaanKu di suatu tempat yang terdapat tiga orang yang sedang berpuasa. Wahai Musa, jika kamu dalam perjalanan maka singgahilah mereka. Jika engkau sakit, maka mintalah mereka agar membawamu. Perintahkanlah para wanita yang telah balig dan anak-anak kecil untuk mengikutimu di mana ada orang-orang yang sedang puasa. Pada saat Ramadhan berlalu, seandainya Aku mengizinkan niscaya bumi dan langit-Ku akan memberi salam dan berbicara dengan orang-orang yang berpuasa, memberikan kabar gembira bagi mereka sebagaimana yang telah Aku kabarkan. Aku telah berkata, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang berpuasa di bulan Ramadhan, kembalilah ke perjalanan kalian. Sesungguhnya kalian telah membuat-Ku ridha dan Aku tidak ada balasan bagi puasa kalian selain pembebasan dari neraka. Aku akan menghisab kalian dengan hisab yang mudah. Aku akan menjamin keluargarnu dan Aku akan memberi kalian nafkah. Aku tidak akan membuka aib kalian kepada seorang pun. Demi keagungan-Ku, tidaklah kalian memohon sesuatu untuk akhirat kalian setelah puasa Ramadhan, melainkan akan aku herikan. Tidak pula kalian meminta sesuatu dalam urusan dunia kalian, melainkan akan Aku perhatikan’.”11
Muhammad ibn Yazid ibn Khunais bercerita: “Syahdan, orang-orang pun berpisah setelah melaksanakan shalat Id Wahib—yakni ibn Warad—melihat orang-orang melewatinya dengan pakaian hari raya. Ia memperhatikan mereka sebentar, lalu berkata, ‘Semoga Allah telah memaafkan kami dan kalian, jika kalian yakin bahwa Allah telah menerima puasa kalian di bulan ini, maka sepantasnyalah kalian menyibukkan diri untuk bersyukur (daripada berjalan-jalan), dan jika sebaliknya kalian takut puasa kalian tidak diterima, maka seharusnya hati kalian lebih masygul lagi’.”12
Sayan berkata, “Wahib melihat suatu kaum tertawa-tawa di Hari Raya Idul Fitri. Maka ia berkata, puasa mereka diterima oleh Allah, maka bukan demikian sikap orang-orang yang bersyukur. Jika puasa mereka tidak diterima, maka bukan demikian juga sikap orang-orang yang takuti.”13
Salman ibn Salim al-Halabi berkata, “Pada saat Hari Raya, ketika Ghazawan ar-Raqasyi sedang berjalan, ia melihat manusia berdesak-desakan. Ia pun menangis seraya berkata, ‘Aku tidak pernah melihat peristiwa yang persis seperti (gambaran) Hari Kiamat selain apa yang aku lihat hari ini.’ Kemudian ia pulang ke rumah dan iatuh sakit.”14
—
1 Abu Abdul ai-Hafizh telah menuturkan dari Abu Abbas Muhammad ibn Ya’qub, dari Yahya ibn Abu Thalib dari Abdul Wahhab ibn Atha’ dari Rabi’ ibn Shabih dari Hasan dan Humald ath-Thawil.
2 Ali ibn Ahmad ibn Abdan telah menceritakan, dari Ahmad ibn Ubaid, dari ja’far ibn Ahmad ibn Faris, dari Muhammad ibn Ishaq al-Muhasibi dari ibn Abdullah ibn Nafi’.
3 Abu Thahir al-Faqih rahimahullah telah menuturkan, ia berkata, “Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya ibn Bilal berkala, ‘Dari Yahya ibn Rabi’ dari Sufyarf.”
4 Abu All al-Husain ibn Muhammad ar-Rudzabari rahimahullah telah berkata, dari Abu Bakr ibn Dassah dad Abu Daud, dari Mahmud ibn Khalid ad-Dimasyqi dan Abdullah ibn Abdurrahman as-Samarqand, dari Marwan, dari Abu Yazid al-khaulani dari Siyar ibn Abdurrahman, dari Ikrimah.
5 Abu Abdullah al-Hafizh telah menuturkan dari Abu Abbas Muhammad ibn ya’qub, dari Abu Atabah ibn Abu Fudaik, dari ad-Dhahhak, dari Nafi’.
6 Abu Abdullah al-Halizh mengabarkan dengan cara ijazah bahwa Abu Abdullah Muhammad ibn Ali asj-Shan’ani telah telah mengabarkan kepada mereka, dari Ishaq ibn Ibrahim, dari Abdur Razzaq, ia herkata: telah menuturkan kepadaku orang yang mendengarkan Ibnu al-Railamani menuturkan dari ayahnya.
7 Abu Sa’id Muhammad ibn Musa menceritakan dari Abu Abbas al-Ashammu, dari Rabi’, dari Syafi’i rahimahullah, dari Ibrahim ibn Muhammad, ia berkata, “Telah berkata Tsauri ibn Yazid, dari Khalil ibn Ma’dan.”
8 Abu Hazim Urnar ibn Ahmad al-Hafizh menceritakan, dari Abu Ahmad Muhammad ibn Muhammad al-Hafizh, Muhammad ibn Ishaq ibn Khuraimah dari Ahmad ibn Abdurrahrnan ibn Wahb menceritakan dari pamannya, ia berkata: Abdulah ibnu Umar menuturkan dari Nafi’.
9 Abu Abdullah al-Hafizh telah menceritakan, dan Abu Bakr Ahmad ibn Ishaq al-Faqih, dari Ali ibn Abdil Aziz, dari Abu Ghassan Malik ibn Isma’il, dari Zuhair, dari Uibah ibn Hamid ad-Dhabi, dari Ubaidillah ibn Abu Bakr lbn Anas.
10 Abu Sa’ad Abdul Maik ibn Abu Utsman az-Zahid, dari Ishaq Ibrahim ibn Ahmad ibn Raja’ dari Abdullah ibn Sulaiman ibn Asy’ah dari Muhammad ibn Abdul Aziz al-Azdi dan Ashram ibn Hausyab dari Muhammad Yunus al-Harisi dari Qatadah.
11 Abdul Malik ibn Abu Utsman az-Zahid dari Abdullah ibn Muhammad al-Asy’ari dari Ibrahim ibn Muhammad dari Abduillah ibn Abdullah al-Bishri dari Abdullah ibn Abdul Wahhab dari Musa ibn Sa’id ar-Rasi dari Hilal ibn Abdissalam al-Wazan.
12 Abu Qasim Abdurrah man ihn Ubaidillah as-Simsar di Baghdad menceritakan, dari Ahmad ibn Salman al-Faqih dari Abdullah ibn Abu Dunya dari Harun ibn Abdillah.
13 Abu Qasim mengabarkannya dari Ahmad dari Abdulah dari Muhammad ibn Abdul Maild at-Tamimi.
14 Abu Said az-Zahid telah menuturkan dari Muhammad Ibn Abdul wahid alKhaza’i dari Muhammad Ibn Harun ats-Tsauqi dari Ahmad ibn Muhammad ibn Masruq dari Muhammad ibn Husain dari Abu Husain al-Baqi.
Imam Baihaqi
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!