Mereka Memiliki Moralitas yang Bersih (Ikhlas)

Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas yang terambil dari bahasa Arab mem­punyai arti: bersih, murni (tidak terkontaminasi), sebagai antonim dari syirik (tercampur). Ibarat ikatan kimia air (H20), dia menjadi murni karena tidak tercampur apa pun, dan bila sudah tercampur sesuatu (misalnya CO2), kom­posisinya sudah berubah dan dia bukan lagi murni H20. Kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin sincerus: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar yang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam (based on what is truly and deeply felt, free from dissimulation).

Karenanya, ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih sayang, dan pelayanan tanpa ikatan. Cinta yang putih adalah bentuk keikhlasan yang tidak ingin menjadi rusak karena tercampur hal lain selain terpenuhinya dahaga cinta. Mereka takut bahwa sesuatu pekerjaan yang dilatarbelakangi motivasi atau pamrih selain melaksanakan amanah, walaupun atas nama “ikhlas dan cinta”, akan berubah menjadi komoditas semata-mata. Keikhlasan hanya men­jadi label atau simbol dari pengesahan dirinya untuk berbuat munafik.

Mukhlis adalah mereka yang memandang sesuatu secara telanjang atau memang demikian seharusnya (as it is). Mereka memandang tugasnya sebagai pengabdian, sebuah keterpanggilan untuk menunaikan tugas-tugas sebagai salah satu bentuk amanah yang seharusnya demikian mereha lakukan. Seorang pelayan publik berbuat sesuatu karena memang demikianlah uraian tugas (job description) yang dia terima. Segala sesuatu yang akan mengotori tugas dirinya berarti mengkhianati cinta dan karenanya berubah menjadi sebuah peng­khianatan terhadap amanah. Karenanya, mereka menjadi manusia yang bebas untuk memenuhi tugasnya tanpa beban atau motivasi lain yang akan menodai kemurnian pandangannya terhadap tugas tersebut.

Bagaikan seorang ibu yang menyusui putra atau putrinya, dia tidak me­miliki motivasi lain kecuali memang demikianlah tugas seorang ibu. Kemudian, tugas yang dijalankannya secara murni dan suci tersebut membuahkan rasa tanggung jawab. Sang ibu tidak hanya menjalankan tugasnya menyusui, tetapi kemudian tumbuh rasa tanggung jawab yang lebih besar. Dia akan menjaganya, memberikannya perlindungan dan kasih sayang sehingga tugasnya yang murni tersebut semakin besar dan melahirkan berbagai hasitatau performance sebagai akibat keterpanggilannya untuk menjaga putra-putrinya tersebut.

Sebenarnya, dalam hal keihlasan itu, mungkin manusia harus belajar dari alam atau hewan yang berbuat apa adanya tanpa motivasi lain yang akan merusak anugerah Ilahiah pada dirinya. Dalam nilai keikhlasan, tersimpan pula suasana hati yang “rela” dalam pengertian bahwa apa yang dilakukannya tidak mengharapkan imbalan kecuali hanya satu pamrih yang ada di hatinya, “Aku tunaikan amanah karena memang demikian seharusnya.” (Mohon Maaf, untuk lebih mem­perjelas makna ikhlas, mungkin dapat kita sejajarkan pada saat kita membuang hajat besar. Kita melepaskannya dan kita tidak pernah mengingat-ngingat apa yang telah kita lepaskan itu.)

Mereha yang disebut mukhlis melahsanahan tugasnya secara profesional tanpa motivasi lain hecuali bahwa peherjaan itu merupahan amanat yang harus di­tunaikannya sebailz-bailmya dan memang begitulah seharusnya. Motivasi unggul yang ada hanyalah pamrih pada hati nuraninya sendiri (conscience). Kalaupun ada reward atau imbalan, itu bukanlah tujuan utama, melainkan sekadar akibat sampingan (side effect) dari pengabdian dirinya yang murni tersebut.

Sikap ikhlas bukan hanya output dari cara dirinya melayani, melainkan juga input atau masukan yang membentuk kepribadiannya didasarkan pada sikap yang bersih. Bahkan, cara dirinya mencari rezeki, makanan dan minuman yang masuk kedalam tubuhnya, adalah bersih semata-mata. Tidak mungkin pada tubuh seorang mukhlis terdapat makanan atau minuman haram. Tidak mungkin seorang yang mukhlis mengotori tubuhnya dengan benda-benda yang terlarang. Mana mugkin seseorang merintihkan doa dan menggelorakan amalnya, sedangkan dalam tubuhnya bersemayam berbagai makanan haram.

Dalam pembinaan mental para korban narkoba yang secara intensif saya geluti di pesantren Al-Maghfirah, saya selalu memberikan motivasi kepada para korban narkoba maupun alkohol bahwa mereka yang di dalamnya terdapat benda haram telah membuka dirinya untuk menjadi santapan api neraka karena ada dosa-dosa yang tidak diampuni Allah, yaitu syirik! Yang dimaksudkan dengan syirik (tercampur) tidak harus dalam bentuk menyembah berhala atau mendua dan menigakan Tuhan; seseorang yang tergantung dengan obat-obatan narkoba juga termasuk dalam katagori syirik. Orang yang tenggelam dalam minuman alkohol sebenarnya telah terjun dalam genangan kemaksiatan yang lebih jahat dari perzinaan dan penyembahan berhala. Mereka yang kecanduan narkoba dan alkohol itu telah meng-ilah-kan atau menuhankan putaw, me­nuhankan shabu-shabu, menuhankan alkohol!

Dengan demikian, ikhlas merupakan energi batin yang akan membentengi diri dari segala bentuk yang kotor (rizsun). Itulah sebabnya, Allah berfirman, “War­rujza fahjur ‘dan tinggalkanlah segala bentuk yang kotor’.” (al-Muddatstsir: 5)

Termasuk syirik adalah cara kita mencari rezeki yang haram. Korupsi dan penipuan lainnya pada hakikatnya juga syirik secara ‘amali karena mereka tidak mampu menepis godaan setan untuk berbuat keji tersebut. Bahkan dengan korupsi, berbohong, atau menipu pada hakikamya seseorang tersebut telah menjadi hamba setan walaupn setiap saat sampai berbusa mulutnya dia berkata, “Iyyaka na’budu!”

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *