Pendidikan dan Otak Anak Indonesia
Handrawan Nadesul
Kerapkali orangtua mengeluhkan banyaknya materi yang harus dipelajari anak, bahkan ketika anak masih duduk di bangku pendidikan dasar. Materi yang kelewat banyak, selain memberatkan anak, juga bisa membawa dampak buruk terhadap perkembangan jiwa anak.
Anak-anak yang dirampas masa bermainnya cenderung menjadi bermasalah setelah tiba masanya ia dituntut lebih menekuni pelajarannya secara penuh. Kerugian lain, karena sebagian materi pelajaran yang dianggap membebani anak itu sesungguhnya sesuatu yang tidak begitu perlu diberikan.
Selain itu, cara belajar-mengajar bukan dengan metode dialog, dinilai kurang mengangkat potensi kreatif yang ada pada diri setiap peserta didik. Anak secara pasif saja menerima dan tidak terbiasa dilatih memerikan suatu pengertian, definisi atau konsep dengan katakatanya sendiri.
Itu terjadi sebagian karena tradisi anak-anak kita yang cenderung dididik menghafal mati segala hal-ihwal.
Bahkan untuk beberapa bidang studi, sering melebihi kemampuan daya cerap abstraksi anak. Lucu rasanya melihat anak kelas I SD menghafal janji Pramuka tanpa mereka sendiri mengerti apa yang diucapkannya. Demikian juga kasus anak yang dimarahi gurunya karena menjawab singkong sebagai makanan orang Indonesia.
Selain karena singkong tidak tertulis di buku teks, anak itu dianggap telah menghina bangsanya. Inilah contoh lain betapa dipersempitnya keluasan berpikir anak yang semakin terkerangka oleh cara sekolah mendidiknya.
Sejak kecil otak anak-anak sudah dijejali oleh memori-memori yang kurang ada nilai praktisnya untuk bisa terampil menjalani kehidupan. Bidang studi sejarah masih menuntut hafal tahun, bukannya memetik hikmah dari batik peristiwa sejarah yang bisa dijadikan bekal yang akan memperkaya nilai kehidupannya.
***
Metode, pengajaran ini bisa dibandingkan dengan yang dipakai di Amerika atau Australia yang lebih menekankan pengenalan lingkungan dan menghidupkan iklim berdiskusi. Tidak terlalu banyak teori, tapi kaya pengalaman belajar lapangan, seperti melihat dari dekat kesibukan kantor polisi, bandara udara atau pemadam kebakaran. Ini jauh memberi manfaat nyata ketimbang hanya menghafal nama sekian puluh kecamatan di wilayahnya, tanpa diajak melihat sendiri seperti apa wujud kecamatan atau kesibukan apa yang berlangsung di puskesmas, stasiun kereta api atau bank.
Bahkan ada anekdot tentang mudahnya mengenali mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri. Ciri khasnya adalah lebih banyak cengengesan daripada bicara kalau harus tampil. Ini merupakan cermin betapa anak tidak dibiasakan memformulasikan buah pikirannya secara jernih dan bulat di sekolah sejak kecil.
Pelajaran mengarang di sekolah sebagai salah satu cara melatih sistematika berpikir anak cenderung diabaikan. Padahal, cara ini besar manfaatnya bagi pengembangan keahlian yang bakal dimiliki anak kelak, untuk bidang profesi apa pun. Sementara anak-anak di dunia Barat dibiasakan mengekspresikan pikirannya dengan tulisan, dan dikerjakan sama lancarnya dengan ungkapan lisan.
***
Sistem peringkat di sekolah juga telah meresahkan orangtua. Seorang anak bisa jatuh atau naik peringkatnya oleh bukan bidang studi inti. Orangtua yang ambisius akan menggenjot anaknya dengan berbagai pelajaran tambahan agar anak bisa masuk peringkat atas. Tanpa disadari, kegiatan sehari-hari anak-anak itu menyita banyak waktu dan mengakibatkan hilangnya kesempatan bermain.
Pendidikan yang memaksakan anak menerima be-ban melebihi kapasitasnya, tentu saja membuat anak berkembang secara tidak sehat. Keinginan untuk menciptakan anak “super”, bisa jadi justru menghasilkan anak bermasalah.
Handrawan Nadesul
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!