Sekedar Minta Tolong KepadaNya sebagai “Upah”
Lapar dan dahaga dipilih sebagai “cara” untuk mencapai “tujuan” puasa. Tetapi, lapar dan dahaga itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan berpuasa. Konteks inilah kritik Rasulullah saw tentang orang yang hanya dapat lapar dan dahaga dalam berpuasa.
Juga saat ibadah shalat, misalnya, bahwa shalat sebenarnya bertujuan untuk dzikir (mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah) dan berdo’a (memohon pertolongan) kepalaNya. Dan saat shalatlah dzikir dilakukan paling intens dibandingkan dzikir saat di luar shalat.
Shalat yang seharusnya membentuk manusianya. Justru menjadi tidak bermanfaat. Sama halnya dengan dzikir, yang tidak menyentuh hati – melainkan hanya “dzikir mulut”, sekedar berucap. Sekedar “mengucapkan” kalimat dzikir.
Tanpa disadari ada pembelokan “cara” menjadi “tujuan”. Tujuan yang sesungguhnya – dzikir sebagai “cara” untuk mendekatkan diri kepada Allah – tidak tercapai. Berganti dengan “rasa puas” atau lega ketika sudah melakukan shalat sebagai kewajiban belaka.
“Cara” berubah menjadi “tujuan”. Keinginan untuk menjadikan shalat sebagai “cara” berdo’a kepada Allah telah bergeser menjadi “memenuhi kewajiban” belaka. Sekedar memenuhi “tuntutan Allah” untuk menyembahNya, lalu tiba giliran untuk minta tolong kepadaNya sebagai “upah”.
Padahal, coba cermati firman Allah berikut ini, bahwa shalat itu adalah ‘cara’ untuk berdoa. Firman Allah, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (QS. Al Baqarah [2] : 45)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!